Imam Katolik yang pertama mendarat di Surabaya ialah Pastor Hendrikus Waanders Pr. dan Pastor Philipus Wedding Pr, yaitu pada tanggal 12 Juli 1810. Tetapi Pastor Wedding Pr selanjutnya ditugaskan di Jakarta, sedangkan pastor Waanders menetap di Surabaya dan mendirikan rumah sekaligus digunakan untuk gereja di jalan Gatotan. Dan pada tanggal 10 Maret 1811 sudah mulai ada orang yang dibaptis untuk pertama kali ( yaitu : Jan George dan Johanna Elizabeth).
Pada tahun 1815 Pastor Hendrikus Waanders Pr. mendirikan stasi yang pertama di Surabaya (merupakan stasi kelima di Indonesia setelah Jakarta/Batavia - Semarang (23 Desember 1808) - Ambarawa - Yogyakarta). Sampai pada tahun 1811 ada 7 orang pastor yang berkarya di Indonesia, yaitu 2 pastor di Batavia, 2 pastor di Surabaya, 2 pastor di Semarang dan 1 pastor di Makasar.
Pada tahun 1815, stasi Surabaya dijadikan Paroki. Tahun 1821 timbul wabah kolera yang menyerang pulau Jawa. Peristiwa ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pastor Waanders dan para misionaris lain untuk menunjukkan keperwiraannya. Akibatnya Pastor Waanders dikagumi dan dikenal oleh banyak orang. Oleh sebab itu setelah selama 7 tahun stasi Surabaya berdiri tanpa memiliki gedung gereja yang permanen, maka Pastor Waanders memberanikan diri untuk membangun gedung gereja yang pertama dan diresmikan pada tanggal 22 Maret 1822 dan terletak di tikungan Roomsche Kerkstraat dan Komedienplein (kira-kira di Jl. Cenderawasih dan Jl. Merak). Itulah gereja yang pertama di Jawa Timur. Gereja yang indah, agung, tetapi sederhana itu dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria oleh Mgr. Prinsen.
Pada tahun 1815 Pastor Hendrikus Waanders Pr. mendirikan stasi yang pertama di Surabaya (merupakan stasi kelima di Indonesia setelah Jakarta/Batavia - Semarang (23 Desember 1808) - Ambarawa - Yogyakarta). Sampai pada tahun 1811 ada 7 orang pastor yang berkarya di Indonesia, yaitu 2 pastor di Batavia, 2 pastor di Surabaya, 2 pastor di Semarang dan 1 pastor di Makasar.
Pada tahun 1815, stasi Surabaya dijadikan Paroki. Tahun 1821 timbul wabah kolera yang menyerang pulau Jawa. Peristiwa ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pastor Waanders dan para misionaris lain untuk menunjukkan keperwiraannya. Akibatnya Pastor Waanders dikagumi dan dikenal oleh banyak orang. Oleh sebab itu setelah selama 7 tahun stasi Surabaya berdiri tanpa memiliki gedung gereja yang permanen, maka Pastor Waanders memberanikan diri untuk membangun gedung gereja yang pertama dan diresmikan pada tanggal 22 Maret 1822 dan terletak di tikungan Roomsche Kerkstraat dan Komedienplein (kira-kira di Jl. Cenderawasih dan Jl. Merak). Itulah gereja yang pertama di Jawa Timur. Gereja yang indah, agung, tetapi sederhana itu dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria oleh Mgr. Prinsen.
Pada waktu pemberkatan banyak tamu dan umat yang hadir. Para tamu terdiri atas para pejabat sipil dan militer, satu detasemen infanteri yang sebagian besar tidak beragama Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa prasangka terhadap kebiasaan katolik akan berubah menjadi sikap yang menghormati berkat adanya pengertian. Sebagai hiburan, digelar musik vokal dan instrumental.
Pada kesempatan itu, J.C. Schmidt seorang jenius mempersembahkan lukisan Kristus yang wafat disalib. Piala misa: ”SEMBAH BEKTI DAN PUJI SYUKUR, SURABAYA 1821”. Ini sebagai pengakuan kepada Pastor Waanders Pr. yang berjuang di tengah wabah kolera. Bahkan uniknya pula, bangunan gereja yang belum rampung seluruhnya itu dipakai untuk rumah sakit darurat. Sampai tahun 1827 Pastor Waanders bekerja sendirian untuk melayani daerah kegerejaan Surabaya, karena tepatnya pada tanggal 12 Februari 1827 Pastor Waanders pensiun sebab matanya buta. Pastor Waanders Pr. wafat dan dimakamkan pada tanggal 9 November 1833.
Pastor Waanders lahir di Ankeveen - negeri Belanda dan ditahbiskan sebagai imam pada tanggal1805, menjadi kapelan di Bunnik. Pada tahun 1809 berangkat ke Surabaya dan wafat pada tanggal 9 November 1833.
Babat Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria
Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria yang sekarang terletak di jalan Kepanjen 6 Surabaya didirikan untuk menggantikan gedung gereja pertama yang rusak (kira-kira di jalan Cenderawasih dan Merak) dan sekarang sudah tidak ada lagi bekasnya.
Sejarah dibangunnya gedung gereja yang sekarang setelah wafatnya Pastor Waanders adalah sebagai berikut: Pastor Moonen Pr. seorang dari tiga imam yang diajak Mgr. Vrancken, langsung berangkat ke Surabaya setelah retret selama 8 hari di Jakarta. Pastor Moonen tiba di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 1847.
Perhatian untuk membina anak-anak, terlebih mereka yang ditinggalkan oleh orangtuanya sangat tinggi. Karena itu pada tahun 1856 didirikan SSV yang namanya lebih dikenal sebagai ”Dana Bantuan Santo Vincentius”. Perhatian kedua ialah memugar gereja, sumbangan umat dan subsidi dari pemerintahan. Selain
pemugaran, beliau juga membeli organ dan altar yang di impor dari kota ’s Bosch, tetapi sayang sekali karena ukiran dan gambar reliefnya rusak pada saat perjalanan.
Jaman terus berkembang dan jumlah umat semakin bertambah. Hal ini membuat Mgr. Vrancken merasa gundah karena kesulitan mendapatkan imam-imam projo. Akhirnya berkat uluran tangan Pastor Provinsial Yesuit, Pastor Van de Elzen SJ dan Pastor Pallinckx SJ. (baca: Paling) mendarat di Bandara Jakarta pada tanggal 9 Juli 1859 dan langsung ditugaskan di Surabaya. Sejak itu pelayanan rohani umat Katolik ditangani oleh kedua Pastor Yesuit tersebut.
Di bawah dua imam Yesuit ini, karya misi di Surabaya bertambah mekar. Mereka membuka sekolah katolik yang pertama. Atas penyelenggaraan ilahi, seorang donatur menyumbang f. 20.000,00 (dua puluh ribu gulden) untuk membeli sebidang tanah (mungkin Susteran Kepanjen sekarang). Berturut-turut pada tanggal 28 Mei 1862, empat Broeder Aloysius (CSA) mendarat di surabaya, disusul oleh lima Suster Ursulin (OSU) pada tanggal 14 Oktober 1863. Biarawan/wati ini bergerak dalam karya sosial dan pendidikan.
Suster Ursulin membeli rumah di Jalan Kepanjen (Susteran SPM sekarang dan perhatikan tulisan St. Ursula).
Karena ada kompleks Marinir di Ujung dan mengingat pelabuhan Tanjung Perak lebih besar dari pada Tanjung Priok, maka Gubernur Jederal minta kesediaan imam alumsenir (imam militer) untuk memberi pelayanan rohani. Peristiwa inilah yang merupakan cikal bakal gereja tua di Ujung, Surabaya.
Pastor Pallinckx selanjutnya ditugaskan mendirikan stasi baru di Yogyakarta. Beliau diganti oleh Pastor Van de Hagen SY yang menjadi Pastor dan Superior pada tahun 1866. Pastor Hagen inilah yang membeli tanah pastoran di Jalan Kepanjen dengan harga f. 21.000,00. Pada tanggal 27 November 1868 Pastor Van de Hagen SY wafat dan digantikan oleh Pastor Terwindt SY. sampai dengan tahun 1886.
Paroki terus berkembang pesat dan sudah barang tentu tempat ibadat yang lebih luas sangat didambakan. Akibat gempa bumi pada tahun 1867 gereja mulai retak. Hal ini mendorong pemikiran perlunya untuk membangun gedung gereja baru.
Pada kesempatan itu, J.C. Schmidt seorang jenius mempersembahkan lukisan Kristus yang wafat disalib. Piala misa: ”SEMBAH BEKTI DAN PUJI SYUKUR, SURABAYA 1821”. Ini sebagai pengakuan kepada Pastor Waanders Pr. yang berjuang di tengah wabah kolera. Bahkan uniknya pula, bangunan gereja yang belum rampung seluruhnya itu dipakai untuk rumah sakit darurat. Sampai tahun 1827 Pastor Waanders bekerja sendirian untuk melayani daerah kegerejaan Surabaya, karena tepatnya pada tanggal 12 Februari 1827 Pastor Waanders pensiun sebab matanya buta. Pastor Waanders Pr. wafat dan dimakamkan pada tanggal 9 November 1833.
Pastor Waanders lahir di Ankeveen - negeri Belanda dan ditahbiskan sebagai imam pada tanggal1805, menjadi kapelan di Bunnik. Pada tahun 1809 berangkat ke Surabaya dan wafat pada tanggal 9 November 1833.
Babat Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria
Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria yang sekarang terletak di jalan Kepanjen 6 Surabaya didirikan untuk menggantikan gedung gereja pertama yang rusak (kira-kira di jalan Cenderawasih dan Merak) dan sekarang sudah tidak ada lagi bekasnya.
Sejarah dibangunnya gedung gereja yang sekarang setelah wafatnya Pastor Waanders adalah sebagai berikut: Pastor Moonen Pr. seorang dari tiga imam yang diajak Mgr. Vrancken, langsung berangkat ke Surabaya setelah retret selama 8 hari di Jakarta. Pastor Moonen tiba di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 1847.
Perhatian untuk membina anak-anak, terlebih mereka yang ditinggalkan oleh orangtuanya sangat tinggi. Karena itu pada tahun 1856 didirikan SSV yang namanya lebih dikenal sebagai ”Dana Bantuan Santo Vincentius”. Perhatian kedua ialah memugar gereja, sumbangan umat dan subsidi dari pemerintahan. Selain
pemugaran, beliau juga membeli organ dan altar yang di impor dari kota ’s Bosch, tetapi sayang sekali karena ukiran dan gambar reliefnya rusak pada saat perjalanan.
Jaman terus berkembang dan jumlah umat semakin bertambah. Hal ini membuat Mgr. Vrancken merasa gundah karena kesulitan mendapatkan imam-imam projo. Akhirnya berkat uluran tangan Pastor Provinsial Yesuit, Pastor Van de Elzen SJ dan Pastor Pallinckx SJ. (baca: Paling) mendarat di Bandara Jakarta pada tanggal 9 Juli 1859 dan langsung ditugaskan di Surabaya. Sejak itu pelayanan rohani umat Katolik ditangani oleh kedua Pastor Yesuit tersebut.
Di bawah dua imam Yesuit ini, karya misi di Surabaya bertambah mekar. Mereka membuka sekolah katolik yang pertama. Atas penyelenggaraan ilahi, seorang donatur menyumbang f. 20.000,00 (dua puluh ribu gulden) untuk membeli sebidang tanah (mungkin Susteran Kepanjen sekarang). Berturut-turut pada tanggal 28 Mei 1862, empat Broeder Aloysius (CSA) mendarat di surabaya, disusul oleh lima Suster Ursulin (OSU) pada tanggal 14 Oktober 1863. Biarawan/wati ini bergerak dalam karya sosial dan pendidikan.
Suster Ursulin membeli rumah di Jalan Kepanjen (Susteran SPM sekarang dan perhatikan tulisan St. Ursula).
Karena ada kompleks Marinir di Ujung dan mengingat pelabuhan Tanjung Perak lebih besar dari pada Tanjung Priok, maka Gubernur Jederal minta kesediaan imam alumsenir (imam militer) untuk memberi pelayanan rohani. Peristiwa inilah yang merupakan cikal bakal gereja tua di Ujung, Surabaya.
Pastor Pallinckx selanjutnya ditugaskan mendirikan stasi baru di Yogyakarta. Beliau diganti oleh Pastor Van de Hagen SY yang menjadi Pastor dan Superior pada tahun 1866. Pastor Hagen inilah yang membeli tanah pastoran di Jalan Kepanjen dengan harga f. 21.000,00. Pada tanggal 27 November 1868 Pastor Van de Hagen SY wafat dan digantikan oleh Pastor Terwindt SY. sampai dengan tahun 1886.
Paroki terus berkembang pesat dan sudah barang tentu tempat ibadat yang lebih luas sangat didambakan. Akibat gempa bumi pada tahun 1867 gereja mulai retak. Hal ini mendorong pemikiran perlunya untuk membangun gedung gereja baru.
Pembangunan Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria
Pada tahun 1889 SSV Paroki dapat membeli sebidang tanah yang bagus dari pemerintah seharga f. 8.815,00 . Di bawah pimpinan Pastor van Santen SJ umat mulai mengumpulkan dana lewat lotere, edaran sumbangan, pinjaman kredit dan permohonan kepada pemerintah.
Pada saat pelaksanaan pembangunan dimulai, timbul kesulitan teknis, karena 4 meter di bawah tanah keadaannya sangat jelek dan tidak stabil. Setelah berbagai saran masuk, akhirnya diadakan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pengeboran tanah sampai didapatkan tanah wadas yang kuat. Ternyata setelah dibor sedalam 16 meter baru didapatkan tanah yang dimaksud. Rencana semula akan membuat pondasi pada dasar tersebut dan ditambah pilar-pilar ukuran 10-12 meter. Tetapi ternyata kedalamannya rata-rata memang 16-17 meter. Pilar pertama dipasang pada tanggal 18 April 1899. Pilar yang dibutuhkan sebanyak 790 buah. Pilar tersebut terdiri dari kayu galam yang didatangkan dari Kalimantan.
Peletakan batu pertama baru dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1899 oleh Pastor van Santen SJ. Untuk mendasari pilar tersebut, maka bahannya didatangkan dari Eropa dan demikian pula bahan bangunan yang lain. Seluruh bangunan tembok dari bata yang juga didatangkan dari Eropa dipasang sesuai dengan warna aslinya. Khusus untuk bangunan kayu diambilkan dari kayu jati, sedanghkan kap dan puncak menara dipakai sirap dari kayu besi. Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung gereja tersebut adalah sebagai berikut:
- Menara : f. 10.000,00
- Pondasi : f. 60.000,00
- Bangunan : f. 95.000,00
- T o t a l : f. 165.000,00
Ukuran gereja adalah sebagai berikut: panjang as bagian dalam 47.60 meter, lebar tangan gereja 30.70 meter, transep 12.70 meter, dar lantai sampai ujung gawel 17.40 meter. Setelah gereja selesai, mebelnya diusahakan selaras dengan bentuknya, yaitu gaya gotik lancip. Pemberkatan gedung gereja dilaksanakan oleh Mgr. Prinsen pada tanggal 5 Agustus 1900 pukul 08.00.
Setelah usahanya berhasil dengan memuaskan, Pastor van Santen SJ. dipindahkan ke Bandung. Sebelum dipindahkan, yaitu pada tanggal 18 Desember 1906 Pastor van Santen SJ memimpin rapat Pimpinan Paroki (Kerkbestuur) untuk mengucapkan terima kasih kepada semua anggota. Pator Hout, sekretarisnya, atas nama semua anggota membalas dengan ucapan terima kasih pula kepada Pastor van Santen SJ, begitu besar jasa beliau atas paroki ini.
Tahun 1923 Merupakan Tonggak Sejarah Keuskupan Surabaya. Jumlah umat Katolik pada tahun 1900 - 1923 menurut Pastor Boonekamp, CM. dalam tulisan ”Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya” berdasarkan statistik tahun 1900 adalah sebanyak 3465 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 2608 orang tinggal di kota Surabaya. Sedangkan pada tahun 1900 untuk pertama kalinya tercatan ada 10 orang Katolik pribumi di kota Surabaya.
Kemudian pada tahun 1921tercatat hanya ada 25 orangKatolik bangsa Indonesia dan 10 orang dari bangsa Asia. Paroki Surabaya dikenal sebagai paroki yang luas, tetapi pada tahun 1923 hanya dilayani oleh 2 orang pastor Yesuit, sedangkan yang satu orang selalu berada dalam perjalanan dinas. Dengan demikian, sampai pada tahun 1923 kegiatan pastoral terpaksa dijalankan dikalangan orang Katolik berkebangsaan Belanda saja.
Di samping harus melayani umat di dalam kota yang meliputi dua kersidenan, pastor paroki Surabaya waktu itu juga harus melayani sebagian besar Ujung Timur Jawa Timur sampai daerah Banyuwangi (sampai tahun 1992). Pulau Madura (sampai tahun 1923), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (sampai tahun 1905) dam sewaktu-waktu juga harus melayani Bali, Lombok dan Ujung Pandang (Makasar).
Pada Tahun 1923, diambil kebijaksanaan untuk membagi wilayah Gerejani yang berdiri sendiri. Satu wilayah di bagian Timur (Malang) diserahkan kepada Ordo Karmel dan wilayah lainnya, yaitu bagian Barat (daerah Karesidenan Surabaya, Kediri dan Rembang) diserahkan kepada pastor Lazaris (CM) yang sampai tahun 1928 masih berstatus Prefektur Apostolik di bawah Vikariat Apostolik Batavia.
Pada hari Sabtu, 30 Juni 1923 anggota-anggota kedua ordo tersebut (Karmel dan Lazaris) mendarat di Tanjung Priok, Jakarta. Adapun pastor-pastor Lazaris (CM) yang bertugas di Surabaya ialah:
1. Pastor Dr. Th. E. de Backere, CM.
2. Pastor C. Klamer, CM.
3. Pastor E. Sarneel, CM.
4. Pastor J. Wolters, CM.
5. Pastor Th. Heuvelmans, CM.
Pada hari Minggu, 1 Juli 1923 para Pastor Yesuit minta diri karena tugas pelayanan rohani selanjutnya akan dilaksanakan oleh Ordo Karmel dan Kongregasi Misi. Dalam Misa Syukur, umat yang hadir sangat melimpah, demikian pula waktu resepsi. Tidak ada tempat duduk yang kosong, bahkan banyak umat yang berdiri, baik dari umat sendiri maupun para undangan. Pada waktu itu hadir pula Bapak Residen, Regen, walikota serta Asisten Residen. Untuk mengenang jasa para pastor Yesuit, maka ketua panitia mengatakan bahwa gambar/patung St. Ignatius dan Fransiskus akan dipasang di gereja Kepanjen dan gereja Darmo. Bapak Residen yang mewakili hadirin yang tidak katolik menyatakan rasa simpatinya. Juga koran-koran Surabaya menulis artikel yang sangat menghargai karya misi para pastor Yesuit.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimulan, bahwa gereja Katolik Kepanjen yang hingga kini masih menjadi rumah pusat imam-imam Kongregasi Misi (CM) merupakan awal dari perkembangan Gereja Katolik di Surabaya atau bahkan Jawa Timur.
Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria - Kepanjen, masih mempertahankan arsitektur aslinya, hanya kedua menara dan kaca-kaca jendela yang mengalami perubahan. Kaca-kaca jendela menjadi lebih modern dan masing-masing gambar yang terlukis pada kaca jendela tersebut mengandung arti sesuai dengan Kitab Suci, terutama Injil.
Sumber : gerejakelsapa.com
Pada tahun 1889 SSV Paroki dapat membeli sebidang tanah yang bagus dari pemerintah seharga f. 8.815,00 . Di bawah pimpinan Pastor van Santen SJ umat mulai mengumpulkan dana lewat lotere, edaran sumbangan, pinjaman kredit dan permohonan kepada pemerintah.
Pada saat pelaksanaan pembangunan dimulai, timbul kesulitan teknis, karena 4 meter di bawah tanah keadaannya sangat jelek dan tidak stabil. Setelah berbagai saran masuk, akhirnya diadakan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pengeboran tanah sampai didapatkan tanah wadas yang kuat. Ternyata setelah dibor sedalam 16 meter baru didapatkan tanah yang dimaksud. Rencana semula akan membuat pondasi pada dasar tersebut dan ditambah pilar-pilar ukuran 10-12 meter. Tetapi ternyata kedalamannya rata-rata memang 16-17 meter. Pilar pertama dipasang pada tanggal 18 April 1899. Pilar yang dibutuhkan sebanyak 790 buah. Pilar tersebut terdiri dari kayu galam yang didatangkan dari Kalimantan.
Peletakan batu pertama baru dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1899 oleh Pastor van Santen SJ. Untuk mendasari pilar tersebut, maka bahannya didatangkan dari Eropa dan demikian pula bahan bangunan yang lain. Seluruh bangunan tembok dari bata yang juga didatangkan dari Eropa dipasang sesuai dengan warna aslinya. Khusus untuk bangunan kayu diambilkan dari kayu jati, sedanghkan kap dan puncak menara dipakai sirap dari kayu besi. Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung gereja tersebut adalah sebagai berikut:
- Menara : f. 10.000,00
- Pondasi : f. 60.000,00
- Bangunan : f. 95.000,00
- T o t a l : f. 165.000,00
Ukuran gereja adalah sebagai berikut: panjang as bagian dalam 47.60 meter, lebar tangan gereja 30.70 meter, transep 12.70 meter, dar lantai sampai ujung gawel 17.40 meter. Setelah gereja selesai, mebelnya diusahakan selaras dengan bentuknya, yaitu gaya gotik lancip. Pemberkatan gedung gereja dilaksanakan oleh Mgr. Prinsen pada tanggal 5 Agustus 1900 pukul 08.00.
Setelah usahanya berhasil dengan memuaskan, Pastor van Santen SJ. dipindahkan ke Bandung. Sebelum dipindahkan, yaitu pada tanggal 18 Desember 1906 Pastor van Santen SJ memimpin rapat Pimpinan Paroki (Kerkbestuur) untuk mengucapkan terima kasih kepada semua anggota. Pator Hout, sekretarisnya, atas nama semua anggota membalas dengan ucapan terima kasih pula kepada Pastor van Santen SJ, begitu besar jasa beliau atas paroki ini.
Tahun 1923 Merupakan Tonggak Sejarah Keuskupan Surabaya. Jumlah umat Katolik pada tahun 1900 - 1923 menurut Pastor Boonekamp, CM. dalam tulisan ”Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya” berdasarkan statistik tahun 1900 adalah sebanyak 3465 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 2608 orang tinggal di kota Surabaya. Sedangkan pada tahun 1900 untuk pertama kalinya tercatan ada 10 orang Katolik pribumi di kota Surabaya.
Kemudian pada tahun 1921tercatat hanya ada 25 orangKatolik bangsa Indonesia dan 10 orang dari bangsa Asia. Paroki Surabaya dikenal sebagai paroki yang luas, tetapi pada tahun 1923 hanya dilayani oleh 2 orang pastor Yesuit, sedangkan yang satu orang selalu berada dalam perjalanan dinas. Dengan demikian, sampai pada tahun 1923 kegiatan pastoral terpaksa dijalankan dikalangan orang Katolik berkebangsaan Belanda saja.
Di samping harus melayani umat di dalam kota yang meliputi dua kersidenan, pastor paroki Surabaya waktu itu juga harus melayani sebagian besar Ujung Timur Jawa Timur sampai daerah Banyuwangi (sampai tahun 1992). Pulau Madura (sampai tahun 1923), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (sampai tahun 1905) dam sewaktu-waktu juga harus melayani Bali, Lombok dan Ujung Pandang (Makasar).
Pada Tahun 1923, diambil kebijaksanaan untuk membagi wilayah Gerejani yang berdiri sendiri. Satu wilayah di bagian Timur (Malang) diserahkan kepada Ordo Karmel dan wilayah lainnya, yaitu bagian Barat (daerah Karesidenan Surabaya, Kediri dan Rembang) diserahkan kepada pastor Lazaris (CM) yang sampai tahun 1928 masih berstatus Prefektur Apostolik di bawah Vikariat Apostolik Batavia.
Pada hari Sabtu, 30 Juni 1923 anggota-anggota kedua ordo tersebut (Karmel dan Lazaris) mendarat di Tanjung Priok, Jakarta. Adapun pastor-pastor Lazaris (CM) yang bertugas di Surabaya ialah:
1. Pastor Dr. Th. E. de Backere, CM.
2. Pastor C. Klamer, CM.
3. Pastor E. Sarneel, CM.
4. Pastor J. Wolters, CM.
5. Pastor Th. Heuvelmans, CM.
Pada hari Minggu, 1 Juli 1923 para Pastor Yesuit minta diri karena tugas pelayanan rohani selanjutnya akan dilaksanakan oleh Ordo Karmel dan Kongregasi Misi. Dalam Misa Syukur, umat yang hadir sangat melimpah, demikian pula waktu resepsi. Tidak ada tempat duduk yang kosong, bahkan banyak umat yang berdiri, baik dari umat sendiri maupun para undangan. Pada waktu itu hadir pula Bapak Residen, Regen, walikota serta Asisten Residen. Untuk mengenang jasa para pastor Yesuit, maka ketua panitia mengatakan bahwa gambar/patung St. Ignatius dan Fransiskus akan dipasang di gereja Kepanjen dan gereja Darmo. Bapak Residen yang mewakili hadirin yang tidak katolik menyatakan rasa simpatinya. Juga koran-koran Surabaya menulis artikel yang sangat menghargai karya misi para pastor Yesuit.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimulan, bahwa gereja Katolik Kepanjen yang hingga kini masih menjadi rumah pusat imam-imam Kongregasi Misi (CM) merupakan awal dari perkembangan Gereja Katolik di Surabaya atau bahkan Jawa Timur.
Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria - Kepanjen, masih mempertahankan arsitektur aslinya, hanya kedua menara dan kaca-kaca jendela yang mengalami perubahan. Kaca-kaca jendela menjadi lebih modern dan masing-masing gambar yang terlukis pada kaca jendela tersebut mengandung arti sesuai dengan Kitab Suci, terutama Injil.
Sumber : gerejakelsapa.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan